“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (Almuminuun:78);
Mungkin kita akan membela diri bahwa wajar terkadang kita berkeluh kesah atas hidup ini. Tangis, airmata, luka dan kepedihan, seringkali membutakan hati akan arti keindahan karunia Ilahi. Bukan…bukan maksudku berkeluh melalui tulisan ini. Tapi berharap ini akan menjadi nasehat terbaikku, yang juga ingin kubagi padamu kawan. Hingga ketika aku lupa nasehatku sendiri, maka engkaupun dapat mengingatkanku. Bahwa kita dapat saling mengambil pelajaran atas kesalahan demi kesalahan yang seringkali dan seringkali terulang. Tapi lihatlah, dengan cinta dan kemurahan-Nya, tak sedikitpun membuatNya lantas membenci hamba yang diciptaNya.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS.Al Ma’arij : 19-21).
Pernahkah kau merasa tertakdir tak seperti umumnya kehidupan orang lain. Tumbuh bukan dengan apa yang menjadi keseharusan. Hingga tiada kau rasakan fajar berbinar menyambut hangat mentari pagi, dan kau tak mampu bernyanyi bersama kicau burung yang bersenandung. Kemudian senja yang harusnya dapat kau jadikan dermaga untuk menumpahkan rasa namun kaurasa hambar, datar dan nanar. Mungkin kau akan menyebutku melankolis kawan. Tak apa, karena aku hanya ingin berbagi denganmu. Ah…kurasa hanya diri kita sendiri yang benar-benar tau apa yang kita rasakan.
Namun ketika ketidakbersyukuran itu datang, dan tanpa sadar menjelma menjadi kekufuran-kekufuran kecil, seringkali pula tersempurnakan dengan ketidakikhlasan, dan ketidaksabaran. Yah… Syukur, Sabar dan Ikhlas. Tiga kata yang indah, teramat indah. Hingga ingin rasanya ku azzamkan dalam kalbu terdalam. Namun tak mudah, karena memang tiada pernah dapat terukur, dan karena itu bukanlah pula teori semata. Bahkan hakekatnya saja seperti apa, hanya Dia, Al Khabiir, yang Maha Mengetahui.
Setiap diri kita membawa takdirnya masing-masing. Bahwa semestinya kita bersyukur atas apa yang tidak ada pada diri kita, bukan hanya atas apa yang telah ada pada diri kita. Mudah untuk mensyukuri kebaikan demi kebaikan dalam hidup ini. Bahagia, tawa dan kegembiraan. Tapi seringkali tak mudah untuk bisa mensyukuri yang sebaliknya. Cobaan demi cobaan. Tangis, air mata dan kepedihan. Tapi tidakkah kita dapat merasakan, bahwa itulah wujud cinta dan kasih sayang Tuhan. Perlu waktu panjang untuk belajar tegar, berdiri tegak, dan bertahan dalam sabar yang seringkali memudar. Dan begitulah sifat dasar manusia. Bahwa manusia itu memang lemah dan rapuh.
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS.An Nisa : 28).
Namun betapa Allah teramat mencintai kita melebihi diri kita sendiri. Memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Karena Dia tahu betul mana yang terbaik bagi hambaNya. Dengan kesalahan Dia hendak menunjukkan mana yang benar. Dengan kepedihan Dia hendak mengajarkan kebahagiaan. Dengan airmata Dia akan menggantikan senyuman.
Mungkin kita akan membela diri bahwa wajar terkadang kita berkeluh kesah atas hidup ini. Tangis, airmata, luka dan kepedihan, seringkali membutakan hati akan arti keindahan karunia Ilahi. Bukan…bukan maksudku berkeluh melalui tulisan ini. Tapi berharap ini akan menjadi nasehat terbaikku, yang juga ingin kubagi padamu kawan. Hingga ketika aku lupa nasehatku sendiri, maka engkaupun dapat mengingatkanku. Bahwa kita dapat saling mengambil pelajaran atas kesalahan demi kesalahan yang seringkali dan seringkali terulang. Tapi lihatlah, dengan cinta dan kemurahan-Nya, tak sedikitpun membuatNya lantas membenci hamba yang diciptaNya.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS.Al Ma’arij : 19-21).
Pernahkah kau merasa tertakdir tak seperti umumnya kehidupan orang lain. Tumbuh bukan dengan apa yang menjadi keseharusan. Hingga tiada kau rasakan fajar berbinar menyambut hangat mentari pagi, dan kau tak mampu bernyanyi bersama kicau burung yang bersenandung. Kemudian senja yang harusnya dapat kau jadikan dermaga untuk menumpahkan rasa namun kaurasa hambar, datar dan nanar. Mungkin kau akan menyebutku melankolis kawan. Tak apa, karena aku hanya ingin berbagi denganmu. Ah…kurasa hanya diri kita sendiri yang benar-benar tau apa yang kita rasakan.
Namun ketika ketidakbersyukuran itu datang, dan tanpa sadar menjelma menjadi kekufuran-kekufuran kecil, seringkali pula tersempurnakan dengan ketidakikhlasan, dan ketidaksabaran. Yah… Syukur, Sabar dan Ikhlas. Tiga kata yang indah, teramat indah. Hingga ingin rasanya ku azzamkan dalam kalbu terdalam. Namun tak mudah, karena memang tiada pernah dapat terukur, dan karena itu bukanlah pula teori semata. Bahkan hakekatnya saja seperti apa, hanya Dia, Al Khabiir, yang Maha Mengetahui.
Setiap diri kita membawa takdirnya masing-masing. Bahwa semestinya kita bersyukur atas apa yang tidak ada pada diri kita, bukan hanya atas apa yang telah ada pada diri kita. Mudah untuk mensyukuri kebaikan demi kebaikan dalam hidup ini. Bahagia, tawa dan kegembiraan. Tapi seringkali tak mudah untuk bisa mensyukuri yang sebaliknya. Cobaan demi cobaan. Tangis, air mata dan kepedihan. Tapi tidakkah kita dapat merasakan, bahwa itulah wujud cinta dan kasih sayang Tuhan. Perlu waktu panjang untuk belajar tegar, berdiri tegak, dan bertahan dalam sabar yang seringkali memudar. Dan begitulah sifat dasar manusia. Bahwa manusia itu memang lemah dan rapuh.
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS.An Nisa : 28).
Namun betapa Allah teramat mencintai kita melebihi diri kita sendiri. Memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Karena Dia tahu betul mana yang terbaik bagi hambaNya. Dengan kesalahan Dia hendak menunjukkan mana yang benar. Dengan kepedihan Dia hendak mengajarkan kebahagiaan. Dengan airmata Dia akan menggantikan senyuman.
Dan kini dalam keyakinan bahwa Allah akan mengganti dengan yang jauh lebih indah, jauh lebih baik dan jauh lebih berharga. Bahwa Dia Al ‘Adl, Maha Adil, dan janjiNya adalah benar. Semoga Allah berkenan menjadikan kita orang-orang yang tidak melampaui batas. Hingga tidak berlebihan ketika bahagia, juga tidak berlebihan ketika sedih. Karena semuanya akan berlalu. Maka seharusnyalah, kita jalani semuanya dengan senyum tertulus, doa terikhlas, sikap terbaik dan langkah terindah. Amin.